Search
Close this search box.
smileys-5776137_640

Menerjemahkan Costumer Satisfaction dan Quality Culture Dalam Pengembangan Layanan Pendidikan Tinggi: Catatan Reflektif Dies Natalies ke-38 UKIM

Oleh : Pdt. Alfred Ohman, M.Pd, Sekretaris YAPERTI GPM

Era disrupsi ditandai dengan perubahan yang terjadi dengan begitu cepat dan masif, bahkan sulit diprediksi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi yang berkembang pesat, menjadi fenomena yang memaksa setiap institusi/lembaga, termasuk perguruan tinggi untuk terus melakukan adaptasi agar tetap survive ditengah kompetisi yang semakin ketat dan tantangan untuk menghasilkan output (lulusan) yang diterima di dunia kerja.

Menyikapi realitas ini, maka dibutuhkan perubahan paradigma dari setiap perguruan tinggi. Perubahan tersebut terletak pada konsep mutu. Bagaimana sebuah lembaga mendefinisikan mutu dalam pengembangan layanan yang diberikannya? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun sesungguhnya inilah hal yang paling esensial dalam mengelola sebuah lembaga penyedia layanan pendidikan tinggi.

Tentang konsep mutu, maka dalam banyak kasus, mutu seringkali didefinisikan berdasarkan perspektif penyedia layanan. Karena itu penting untuk melihat kembali bagaimana perspektif mutu mesti dipahami secara substansial. Pada tahun 1950, William Eduard Deming menawarkan sebuah perspektif mutu yang berbeda bagi Jepang, sebuah negara yang baru saja luluh lantak akibat perang dunia II dan berhasil memulihkan industri Jepang. Selain mengembangkan pendekatan perbaikan berkelanjutan, Deming juga menawarkan sebuah perspektif yang berbeda, yang mana mutu didefinisikan bukan berdasarkan apa yang dipersepsikan oleh penyedia layanan/produk, melainkan didasarkan pada aspek kepuasan pelanggan (costumer satisfaction).

Dalam konteks UKIM, maka perspektif ini mesti menjadi salah satu cara pandang yang dapat mendorong kemajuan layanan pendidikan. Itu artinya, dibutuhkan keberanian untuk membuka diri menerima sejumlah perubahan yang berdampak pada tercapainya ekspektasi pelanggan jasa pendidikan.

Pertanyaanya, siapakah pelanggan jasa pendidikan yang dimaksudkan itu? Dalam konsep Total Quality Management, terdapat tiga jenis pelanggan. Pelanggan Primer, Sekunder dan Tersier.

Untuk Pelanggan Primer, ini yang disebut juga oleh Pdt. Dr. C. Alyona dalam refleksi Syukur Dies Natalis UKIM ke-38 tadi. Mantan Rektor UKIM ini menggunakan istilah Stakeholder Primer. Maka yang dimaksudkan dengan pelanggan primer atau stakeholder primer itu tidak lain adalah mahasiswa. Mahasiswa mesti dilihat sebagai pihak yang sangat menentukan keberlangsungan penyelenggaraan sebuah lembaga perguruan tinggi. Karena itu, penyediaan kebutuhan mahasiswa, mulai dari proses awal mengenal kampus sampai kepada kesiapan untuk masuk dunia kerja mesti menjadi hal yang prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, apalagi tuntutan itu semakin terbuka melalui Permenristekdikti nomor 53 tahun 2023, tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Sementara untuk pelanggan Sekunder disini adalah orang tua, masyarakat dan staf. Kepuasan ini tentu berhubungan dengan bagaimana harapan orang tua dan masyarakat terhadap layanan pendidikan yang diberikan. Apakah biaya yang dibayarkan berbanding lurus dengan layanan pendidikan yang diberikan? Bagaimana kelanjutan masa depan anak-anak mereka setelah lulus kuliah? Kepuasan Masyarakat disini juga berbicara soal trust masyarakat, termasuk warga gereja terhadap pengelolaan UKIM sebagai lembaga pendidikan yang didukung penuh oleh Gereja Protestan Maluku. Selanjutnya, penting untuk memperhatikan bagaimana perlakuan kepada staf dalam pelaksanaan tugas. Dalam konsep manajemen mutu, staf tidak dipandang sebagai bawahan tetapi pelanggan internal yang berperan penting dalam kemajuan lembaga.

Sedangkan untuk pelanggan tersier yakni instansi pemerintah/swasta. Sebagai pelanggan tersier, tentu ada harapan besar agar output/lulusan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, memiliki pengetahuan dan keterampilan di dunia kerja. Dalam sejumlah besar pengalaman, justru aspek yang paling dibutuhkan hari ini adalah keterampilan. Karena itu, penyusunan kurikulum juga mesti bermuara pada aspek kecakapan praktikal dalam menjawab kebutuhan di dunia kerja.

Selanjutnya, tentang budaya mutu (quality culture). Maka terdapat 10 karakteristik budaya mutu, yang dapat digunakan dalam konteks UKIM, antara lain:

Pertama, perilaku sesuai slogan. Poin ini penting sebagai manifestasi dari visi dan misi lembaga. Slogan/motto tentu tidak sekedar digaungkan, tetapi diinternalisasi dalam setiap aktivitas kelembagaan.

Kedua, Survey kepuasan pelanggan. Pengembangan berbasis data menjadi sangat penting untuk mengetahui derajat kepuasan pelanggan terhadap layanan yang diberikan. Data tersebut juga menjadi sangat penting sebagai acuan dalam upaya perbaikan berkelanjutan (continius improvement).

Ketiga, pelibatan staf. Organisasi akan lebih optimal dalam penyelenggaraan pelayanan jika staf dilibatkan untuk mencapai tujuan bersama. Karena itu, patut dihindari prinsip one man show.

Keempat, berbasis teamwork. Kolaborasi setiap unsur organisasi menjadi ruang untuk mendapatkan informasi dan pandangan yang beragam dalam pengambilan keputusan dan pencapaian tujuan.

Kelima, Top manajer terlibat secara bersama dalam proses pengembangan (tidak mendelegasikan dan cenderung lepas tangan). Pada satu sisi, bukan sebuah kekeliruan bila dalam organisasi dilakukan pendelegasian tugas. Namun pendelegasian ini tidak berarti bahwa top manajer memberi kepercayaan tanpa proses kontrol sehingga seluruh proses dapat berlangsung dalam kendali dan pengawasan top manajer.

Keenam, ketersediaan SDM dari segi kualitas, kuantitas dan dukungan fasilitas. Ketersediaan yang dimaksudkan disini tentu mesti mempertimbangkan aspek beban kerja sehingga sumberdaya yang tersedia dapat memberi kontribusi secara efektif.

Ketujuh, Pengembangan SDM, baik untuk keahlian maupun prinsip manajemen mutu terpadu juga mesti dilakukan untuk mendapatkan sumberdaya yang berkompeten dan memahami prinsip-prinsip pengembangan mutu.

Kedelapan, penghargaan dan promosi juga perlu dilakukan secara adil dan objektif guna mendorong kemajuan lembaga. Penghargaan dapat memacu motivasi dan produktivitas.

Kesembilan. rekan sejawat perlu dihargai dan diperlakukan dengan baik. Dalam mekanisme organisasi, seluruh elemen mesti dipandang penting, sebab jika satu organ terganggu, maka akan berpengaruh pada organ yang lain dan seluruh pergerakan organisasi.

Kesepuluh. Pemasok sebagai partner. Pemasok yang dimaksudkan disini adalah pihak yang berkontribusi menyediakan kebutuhan lembaga, dalam hal ini mahasiswa. Karena itu, membangun relasi dengan pihak sekolah jenjang SMA perlu dilakukan secara serius dan berkelanjutan agar memberi benefit kepada dua belah pihak sehingga ada hubungan yang saling menguntungkan dan relasi yang tetap terjaga dengan baik.

Demikian catatan reflektif dari perayaan Dies Natalis UKIM ke-38. Jayalah almamaterku. UKIM tercinta. Bertumbuh di dalam dan oleh Iman, Pengetahuan dan Kasih (2 Petrus 1: 5-7)